Festival Musik Tasikmalaya Tetap Digelar Tanpa Hindia, Polemik Simbol vs Kreativitas

Rencana tampilnya penyanyi solo Hindia (Baskara Putra) dalam festival musik Ruang Bermusik 2025 di Lanud Wiriadinata, Tasikmalaya, akhirnya dibatalkan. Keputusan ini muncul setelah penolakan tegas dari sejumlah organisasi masyarakat dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Aktivis dan Masyarakat Muslim Tasikmalaya (Al-Mumtaz) menyusul kekhawatiran terhadap simbol-simbol tertentu yang dinilai bertentangan dengan nilai keislaman.

Ustaz Hilmi, Ketua Umum Al-Mumtaz, menyampaikan bahwa kekhawatiran mereka tidak terkait musik secara umum, melainkan dugaan simbol Dajjal dan estetika yang menurut mereka menyimpang dari norma syariat. Ia menyandingkan kasus ini dengan penampilan Hindia di beberapa band sebelumnya yang menggunakan properti kontroversial.Sekda Kota Tasikmalaya, Asep Goparuallah, menyatakan dukungan terhadap kegiatan seni namun menekankan bahwa soal izin dan polemik, keputusan diserahkan ke Polda Jawa Barat selaku pihak berwenang yang menangani aspek keamanan dan perizinan.

Pada Rabu, 16 Juli 2025, promotor festival secara resmi mengumumkan pembatalan penampilan Hindia, yang juga berlaku untuk Lomba Sihir dan .Feast. Mereka menyampaikan niat baik untuk menghadirkan penampil tersebut di waktu dan format berbeda serta menjamin proses refund tiket berjalan transparan.

Meski begitu, festival tetap dilanjutkan tanpa Hindia. Polda Jabar sudah mengeluarkan izin penyelenggaraan, dan Polres Tasikmalaya menyiapkan pengamanan maksimal. Aparat juga meminta pengunjung untuk tidak membawa barang yang bisa memicu kericuhan.

Wakil Wali Kota Dicky Chandra menyuarakan harapan agar tercipta solusi win-win: tetap melindungi citra Kota Tasik, sambil menghormati ekspresi kreatif komunitas. Ia menganggap penolakan ini bukan bentuk anti-kesenian, melainkan bentuk perhatian terhadap generasi muda dan sensitivitas budaya lokal.

Pengamat musik Dzulfikri Putra Malawi menyebut situasi ini sebagai reaksi wajar dalam ruang publik majemuk. Musisi membuka peluang beragam interpretasi, sehingga publik perlu membangun dialog konstruktif agar ekspresi artistik tidak memicu polarisasi yang merugikan sistem kreatif.

Fenomena ini menurut peneliti psikologi sosial UI, Wawan Kurniawan, juga mencerminkan benturan antara ekspresi global dan nilai lokal yang mengakar. Istilah moral panic pun muncul: respons spontan terhadap simbol dan gaya hidup yang dianggap mengancam norma kolektif.

Leave a Response